Beranda | Artikel
Bolehkah Wanita Menjadi Imam untuk Pria?
Kamis, 29 Juni 2017

Ade Armando, seorang tokoh liberal dalam status Facebooknya menulis:

Perkembangan Islam di Eropa mulai menemukan babak kebebasan baru .

Di sana, didirikan masjid yang menepiskan segregasi gender.

Pria dan perempuan bersatu di barisan yang sama.

Imam shalat nya pun bisa perempuan.

Masjid itu juga bisa menerima kaum LGBT.

Tentu saja tak ada paksaan bagi umat Islam untuk sholat di sana.

Mereka yang merasa bahwa praktek-praktek semacam itu tidak bisa diterima, dipersilakan sholat di masjid-masjid arus utama yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Namun sebagai alternatif, ini tentu melegakan.

Mudah-mudahan, kehadiran masjid ini tidak direspons dengan tindak kekerasan dan teror kelompok lain.

 

Cukup sebagai sanggahan, kami nukilkan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al-Umm.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika perempuan menjadi imam untuk laki-laki dewasa, perempuan dan anak laki-laki, shalat perempuan dalam shalat berjamaah itu sah. Sedangkan shalat laki-laki dan anak laki-laki tidaklah sah dikarenakan Allah menjadikan laki-laki sebagai imam bagi perempuan, juga laki-laki adalah wali bagi perempuan. Sehingga jika ada perempuan menjadi imam bagi laki-laki, hal itu tidak dibolehkan sama sekali. Begitu juga jika wanita menjadi imam untuk khuntsa musykil (orang yang punya kerancuan jenis kelamin ini, disebut ambigous genitalia, pen.), shalat dari khuntsa musykil tersebut tidaklah sah. Seandainya pula wanita itu menjadi imam untuk khuntsa musykil dan ia belum mengganti shalatnya yang tidak sah tadi, lalu terbukti ternyata orang yang punya kerancuan jenis kelamin tadi adalah wanita, tetap disukai jika orang yang punya kerancuan jenis kelamin mengulangi shalatnya. Jadi, tetap masih dianggap shalat orang tersebut tidaklah sah.” (Al-Umm, 2: 320)

Silakan merenungkan mana yang lebih berilmu antara Armando dengan Imam Syafi’i. Kalau mau dibandingkan antara kewara’an dan keilmuan keduanya tentu jauh bagaikan langit dan sumur. Anda sudah tahu bagaimana kapasitas keilmuan Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dibanding dengan Armando yang hanya bermodal dosen di universitas ternama di negeri ini.

Semoga Armando mendapatkan hidayah.

 

Referensi:

Al-Umm. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Tahqiq: Dr. Rif’at Fauza ‘Abdul Mathlab. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

@ DS, Panggang, Gunungkidul, malam 6 Syawal 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/16057-bolehkah-wanita-menjadi-imam-untuk-pria.html